Amanah

Dinasehatkan untuk kita, tabu meminta amanah, pun memberikan amanah bagi sesiapa yang memintanya. Karena amanah selayaknya dititipkan kepada mereka yang siap, mereka yang hanya berfokus pada penempaan kapasitas diri tanpa kemudian terperangkap dalam ambisi atas kuasa itu sendiri.

Namun ketika amanah itu datang dan janji kontribusi kita sedang ditagih, jemputlah panggilan itu dengan sepenuh hati, keikhlasan dan tanggung jawab.

Begitulah yang diajarkan.

Beberapa tahun berselang, Alhamdulillah saya diperkenankan bisa berkenalan dan belajar dengan berbagai jenis orang, terkhusus dalam catatan ini, dengan orang-orang yang dipercaya untuk memanggul amanah, kecil besar ataupun lama sebentar.

Ada satu sosok yang (insya Allah) terjaga dan memberikan banyak pembelajaran soal sub-pelajaran hidup ini, dalam dan membekas hingga sekarang.

Terkisah dalam sebuah forum, sosok tersebut sedang diminta oleh rekan-rekan satu timnya untuk memberikan kesanggupan. Kesanggupan menjadi orang yang ditempatkan di garis perbatasan terdepan, memanggul amanah sebagai pemimpin, dalam jangka waktu yang cukup lama untuk hitungan seorang mahasiswa. Berbagai dukungan mengalir untuk beliau, dari berbagai sudut, meyakinkan bahwa tersebutnya nama beliau dalam keputusan itu bukan tanpa pertimbangan. Seleksi kapabilitas : insya Allah lulus, integritas : tidak usah diragukan lagi, kualitas pribadi : sudah teruji, dan berbagai pertimbangan yang semakin mengerucut, bahwa insya Allah, keputusan ini adalah ikhtiar terbaik yang bisa diusahakan.

Selama proses itu, beliau hanya diam, mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali mengambil catatan. Setelah dirasa cukup, agenda pun memuncak, moment of truth, saatnya meminta persetujuan dari si inti pembicaraan.

Hening, dan beliau pun mulai bicara.

Bismillah, insya Allah saya bersedia, kata beliau.

Senyum mengembang di penjuru ruangan. Melepaskan kelegaaan.

Semoga keputusan ini, ikhtiar kita ini, adalah jawaban dari doa yang senantiasa saya panjatkan dalam sujud dan shalat saya. Doa agar saya bisa ditempatkan bersama orang-orang yang terjaga dan menjaga, doa agar saya bisa ikut berjuang di jalan kebaikan, tutup beliau.

Nyes. Adem sekali rasanya mendengar jawaban itu.

Biasanya, default jawaban yang biasa disampaikan untuk pinangan sebuah amanah adalah : “Insya Allah, dengan syarat ini, ini dan ini.”.

Atau bisa saja, “Kenapa saya??” yang terucap, atau “Saya belum siap!” yang tersampaikan, atau bahkan “Saya tidak bersedia, karena ini dan ini. Yang lain saja.”

Saat nyes itu terasa, saya lalu belajar tentang khusnudzan dalam level yang berbeda. Baik sangka bukan hanya atas hal yang kita faham resikonya, namun atas masa depan yang masih terhijab dan tertutupi. Pedomannya hanya satu, berbaik sangka bahwa ini adalah jalan yang dipilihkan oleh Allah dan menjadi jawaban doa kita.

***

Kisah kedua, diceritakan atas sosok dan waktu yang berbeda.

Di dalam setengah perjalanan amanah yang sedang diperjuangkannya, seorang panglima perang mengadu kepada saudaranya, tentang keterpaksaan yang masih mengganjal meski sudah dihalau jauh-jauh itu, tentang kelelahan yang menggunung itu, tentang kesabaran yang sudah hampir kering itu.

Nasehati saya mas, agar tidak ada lagi pembenaran untuk tidak mengusahakan amanah ini dengan sebaik-baiknya, agar keterpaksaan ini bisa terikhlaskan, agar saya bisa berjuang sepenuh hati, dengan niat yang tulus dan jalan yang lurus. Agar futhur tak lagi berlama-lama, dan bisa menguap dalam sekejap.

Antum bawa mushaf kan? tanya beliau. Buka, baca QS Muhammad ayat ke-7 dan hayati maknanya.

Mushaf pun dibuka. Ayat-Nya terlantun dengan khusyuk.

Jeda hening.

Sudah? tanya beliau.

Terjawab dengan anggukan.

Cukup, kah?

Jeda hening.

Insya Allah cukup, terima kasih mas. Sangat cukup, Lillah, fillah, ilallah.

Ada isak jelas tertahan mengiringi jawaban yang terlantun, mengiringi semangat yang kembali merimbun.

*tertulis atas inspirasi dari diskusi dengan si 3.85

1 thought on “Amanah

Leave a comment